Minggu, 23 November 2008

romantisme semu

"aku mau selingkuh aja!"
"kenapa? udah bosen?"
"gak, cuman sedikit hampa karna kamu gak kaya' dulu lagi"
"apa lagi sie? aku juga masih sama kaya' biasanya"
"kamu gak romantis!"
"kan tiap hari ketemu, tiap hari bilang sayang, tiap malem bilang mimpiin aku"
"tut tut tut'


"halo ..."
"halo non, lagi di mana?"
"di rumah, udah mo tidur"
"oh, kirain masih di kantor kaya' biasanya, ya udah klo gitu"
*drrrttt* 1 new message
"sori, tadinya cuma mau ngajakin makan, sekalian mau ngobrol banyak, aku kangen cerewetmu, tapi ya udah, besok aku telpon ya"
"iya gpp, sori gak bisa nemenin"
*message sent*
*drrrttt* 1 new message"
"met istirahat ya cantik, berharap kamu mengisi mimpiku malam ini"


"si *** telpon aku"
"ngapain?"
"ngajakin makan"
"ohh"
"cuman gitu doank? kamu gak cemburu? kamu gak sayang ama aku?"
"koq gitu sie?"
"tu kan, emang bener kamu tu gak romantis!"
"koq mulai lagi sie, gak romantis gimana? gak sayang gimana? udah mau nikah koq masih ngurusin yang gini-gini"
"..."

*drrrttt* 1 new message
"hey! ke mana aja? sibuk terus! aku punya sesuatu ni buat kamu, ayo ketemu, aku udah kangen ama kamu ndut"


fuihhh !!!

entahlah ...
mengapa pangeran-pangeran romantis itu kembali datang ...
atau ada yang mengirim mereka?
untuk menyusupi ruang-ruang kecil yang tercipta di tengah kepenatan ini

tapi memang, sepertinya romantisme yang menari-nari di sekitar itu tak lagi perlu dihiraukan,
meski nyatanya cukup membuat terbuai ...

toh kehidupan sebenarnya yang penuh liku sudah menanti untuk ditapaki
yang menuntut kita bersatu, tanpa romantisme semu ...

Minggu, 09 November 2008

menanti kematian

malam itu ... kamis, 6 nov 2008, pertama menjejakkan kaki di desa tenggulun, kecamatan solokuro, lamongan, dalam tugas meliput rangkaian eksekusi mati amrozi, dan ali gufron, dua terpidana mati kasus bom bali 1, asal desa tersebut ... entah mengapa, tak seperti biasanya, teman2 wartawan yang berkumpul di jembatan, tak jauh dari ponpes al-islam, pondok pesantren milik keluarga besar amrozi tak menjawab sapaan ceriaku ... adakah yang salah? ... ya ... mereka kemudian memintaku untuk menutup kepala dengan kerudung ... aku-pun menurutinya ... begitulah ... jika tidak ingin diteriaki "kafir!" oleh para penghuni ponpes ... dan selanjutnya ... suasana terasa mencekam ...


ini adalah kali kedua aku bertugas meliput soal eksekusi mati ... sebelumnya ... akhir juli lalu, aku mendapat tugas untuk meliput eksekusi ibu, dan anak terpidana mati atas kasus pembunuhan sekeluarga, sumiarsih, dan sugeng ...


dan ini sekaligus memaksa aku berada di sebuah titik bernama penantian ...


menanti kematian ...

tugas ini terasa berat ... bukan hanya berat karena harus menaklukkan akses yang tertutup untuk mendapat secuil informasi ... tapi juga berat ... karena di saat lelah menyergap, ataupun kebosanan melanda, sering kali aku berharap agar tugas ini cepat selesai ... namun ... seketika itu juga hati ini miris ... miris karena setiap kali berharap demikian, maka itu berarti mengharapkan kematian segera menjemput seseorang ...


kematian yang tentunya sangat dihindari ...
seperti yang dialami sugeng ... yang puluhan tahun lalu terpaksa membantu sang ibunda menghabisi nyawa sebuah keluarga ... beberapa hari sebelum sugeng dieksekusi, aku juga sempat mewawancarainya ...

hingga akupun sempat merasa dekat dengan sosok sugeng, sugeng yang mencoba tegar di tengah kelelahan saat berkejaran dengan kematian ... sugeng yang sekaligus rapuh karena menyadari sebentar lagi kematian pasti
berhasil menangkapnya ... sugeng, yang akhirnya harus menyerah kalah pada kematian, melalui sebutir peluru yang merobek dadanya ...


menanti kematian ...
membuat aku tersadar, betapa semakin dekatnya aku dengan kematian ...